MEDAN – Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia (IPTI) bersama Koalisi Masyarakat Sipil melawan Impunitas, yang terdiri dari ratusan organisasi di seluruh Indonesia, mengecam keras rencana penghapusan dan manipulasi sejarah terkait Tragedi Mei 1998.
Penolakan ini disampaikan menyusul wacana Kementerian Kebudayaan untuk menulis ulang sejarah nasional menjelang HUT ke-80 Republik Indonesia.
Dalam siaran pers yang dirilis pada Senin (16/6), DPP IPTI menegaskan bahwa Tragedi Mei 1998 merupakan bagian kelam dalam sejarah bangsa yang tidak boleh dilupakan, disangkal, atau dimanipulasi.
“Tragedi kemanusiaan ini merupakan bagian kelam dalam perjalanan bangsa Indonesia yang tidak boleh dilupakan, disangkal apalagi dimanipulasi,” demikian pernyataan resmi IPTI.
IPTI juga menyinggung peribahasa Tionghoa, yǐ shǐ wéi jiàn (以史为鉴), yang berarti “Menggunakan Sejarah Sebagai Cermin.”
Mereka menekankan bahwa sejarah harus menjadi cerminan bagi pemerintah untuk belajar dari masa lalu demi menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Melupakan adalah bentuk pengkhianatan terhadap korban dan keluarga korban terlebih lagi kepada Ibu Pertiwi,” tegas pernyataan tersebut.
Selain menolak pengaburan sejarah, IPTI juga mengkritik keras pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang dinilai telah menimbulkan kegaduhan dan melukai hati korban serta masyarakat.
Sebelumnya, pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa dalam Tragedi Mei 1998 sebagai “rumor” tanpa bukti otentik memicu gelombang protes keras dari aktivis perempuan, dan organisasi masyarakat sipil.
Dalam wawancara dengan kanal YouTube IDN Times pada 8 Juni 2025, Fadli Zon mempertanyakan kebenaran pemerkosaan massal selama kerusuhan Mei 1998.
“Nah, soal pemerkosaan massal, apakah benar itu ada? Siapa yang mengatakan itu? Tidak pernah ada buktinya, itu cuma cerita,” ujarnya.
Ia juga menyatakan bahwa temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) tidak memiliki basis data yang kuat, sehingga narasi “massal” perlu diinvestigasi ulang.
“Sebagai seorang tokoh publik dan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon seharusnya mampu menjaga etika berstatement di ruang publik serta menunjukkan sikap kenegarawanan,” ujar Yen Yen Kuswati, Sekretaris Jenderal IPTI.
IPTI menuntut Fadli Zon segera meminta maaf secara terbuka kepada publik, khususnya kepada pihak-pihak yang tersakiti oleh pernyataannya.
Mereka juga menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat untuk menjaga ingatan kolektif atas tragedi tersebut dan memperjuangkan keadilan bagi para korban.
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas turut mendukung seruan ini, menegaskan bahwa anak cucu bangsa berhak mengetahui sejarah yang benar.
“Bangsa ini bukan hanya untuk generasi sebelumnya dan saat ini. Anak cucu kita berhak mengetahui bagaimana sejarah bangsanya dibentuk,” tutup pernyataan IPTI.(red)