MEDAN – PT Vani Mom Support (VMS) resmi dilaporkan puluhan pekerja Asisten Rumah Tangga (ART) ke Polda Sumut lantaran tak membayar gaji, Minggu (5/10/2025).
Melalui kantor hukum Wilson Wirawan & Rekan, tim kuasa hukum yang terdiri dari Dr.(C) Wilson Wirawan SH MH CPM CPArb CPCLE, Sukur Tandiono SE SH MH CPM CPArb CPCLE Febris Lindon P. Sinaga SH CPM, Bahrinal Silaen SH CPM Nurhaida Sinaga SH dan Jeremy Steven Situmorang SH, ART yang menjadi korban melaporkan Dewanto selaku Komisaris dan Yenny Wijaya selaku Komisaris PT. VMS dalam dugaan tindak pidana pengelapan gaji sesuai Pasal 378 KUHP dan Pasal 372 KUHP.
Laporan Polisi itu tertuang dalam surat bernomor STTLPB/B/ 1617 / X/2025/SPKT/POLDA SUMATERA UTARA dengan pelapor T, STTLPB/B/ 1618 / X/2025/SPKT/POLDA SUMATERA UTARA dengan pelapor W, STTLPB/B/ 1619/ X/2025/SPKT/POLDA SUMATERA UTARA dengan pelapor L dan STTLPB/B/ 1620 / X/2025/SPKT/POLDA SUMATERA UTARA dengan pelapor N.
“Sudah ada lebih dari 20 mantan pekerja yang melaporkan pengalaman serupa. Kami terus menerima laporan baru dari mantan pekerja yang mengaku tidak dibayar berbulan-bulan. Ada yang gajinya tertunda, ada juga yang tidak pernah menerima sama sekali,” ungkap Dr.(C) Wilson Wirawan SH MH CPM CPArb CPCLE kepada wartawan, Selasa (7/10/2025) siang.
Menurutnya, kondisi ini sudah tidak bisa dikategorikan sebagai sengketa perdata biasa, melainkan masuk ranah pidana murni karena terdapat unsur kesengajaan dan niat untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum.
“Perusahaan merekrut pekerja, menahan dokumen, mempekerjakan mereka penuh waktu, namun tidak membayar haknya. Itu sudah memenuhi unsur penipuan sebagaimana Pasal 378 KUHP dan penggelapan Pasal 372 KUHP,” tegas Wilson.
Dr.(C) Wilson Wirawan SH MH CPM CPArb CPCLE juga mengungkap bahwa PT VMS menggunakan nama “Foundation” atau yayasan sosial untuk menarik kepercayaan calon pekerja. Namun di balik itu, terdapat praktik yang tidak sesuai dengan etika ketenagakerjaan dan hukum perlindungan pekerja.
“Langkah pidana tetap berjalan, namun secara paralel kami juga menyiapkan gugatan perdata untuk menuntut pengembalian hak-hak pekerja, total kerugian materil para korban yang sudah diverifikasi mencapai ratusan juta rupiah. Selain itu, korban juga mengalami kerugian immateriil berupa tekanan psikologis, rasa malu, serta kehilangan kesempatan kerja lain. Kami ingin kasus ini menjadi preseden agar perusahaan lain tidak berani lagi memperlakukan tenaga kerja seperti ini,” tambahnya.
Wilson menegaskan, pihaknya akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas dan memastikan para korban mendapatkan keadilan hukum dan moral. Ia juga mengajak media dan masyarakat untuk terus memantau perkembangan kasus ini agar tidak tenggelam tanpa kepastian hukum.
“Ini bukan hanya tentang uang. Ini tentang hak manusia, tentang kejujuran, dan tentang bagaimana hukum harus berpihak pada yang lemah,” tutup Wilson.
Dijelaskannya, tim kuasa hukum telah menyerahkan berkas lengkap kepada penyidik Ditreskrimum Polda Sumut, termasuk bukti pembayaran majikan ke perusahaan “Tidak ada alasan untuk menunda proses penyidikan, ini menyangkut hak-hak pekerja perempuan yang menjadi korban eksploitasi finansial dan administratif. Untuk itu, kami meminta agar penyidik segera memanggil Dewanto selaku Direktur dan Yenny Wijaya selaku Komisaris untuk dimintai keterangan,” tambahnya.
Wilson juga mengatakan, PT VMS juga melakukan penahanan dokumen pribadi para ART dan sejumlah ART juga dipaksa menandatangani dokumen tambahan yang tidak dijelaskan isinya dengan jelas. “Praktik seperti ini, menurutnya, melanggar asas transparansi dalam perjanjian kerja sebagaimana diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO),” tegas Wilson.
W, ART yang manjadi korban PT VMS dalam keterangannya mengatakan dirinya bergabung dengan PT VMS sejak 3 September 2024 dengan kontrak kerja aktif mulai 10 September 2024 hingga 10 Maret 2025. Ia ditempatkan sebagai penjaga lansia, dengan gaji yang dijanjikan sebesar Rp 2.600.000 per bulan.
“Gaji terakhir yang saya terima sebesar Rp 2.600.000 pada 15 Desember 2024 untuk pembayaran bulan November. Setelah itu, tidak ada lagi pembayaran,” ungkap W.
Sedangkan, T mengaku bergabung dengan PT Vani Mom Support sejak 3 Oktober 2024 dengan kontrak kerja yang berlaku dari 9 November 2024 hingga 8 Mei 2025. Ia ditempatkan di rumah klien berinisial J, dengan gaji yang dijanjikan sebesar Rp 2.300.000 per bulan.
“Gaji terakhir yang saya terima adalah Rp 2.376.667 pada 10 Februari 2025 untuk pembayaran bulan Desember 2024. Setelah itu, saya tidak menerima pembayaran lagi,” jelas T.
Hingga kini, T belum menerima gaji untuk periode Januari hingga Maret 2025, dengan total mencapai Rp 6.900.000. Ia juga menyebut bahwa KTP-nya sempat ditahan oleh pihak yayasan, meskipun kini telah dikembalikan.
Hal yang sama juga menimpa L. Ia yang telah beberapa kali bekerja di bawah PT VMS sejak 2023, kembali bergabung pada 3 Februari 2025 sebagai bidan pengasuh bayi di Jakarta, dengan kontrak hingga 15 Juli 2025 dan gaji Rp 5,5 juta per bulan.
“Sejak Februari saya tidak pernah menerima gaji dari PT VMS. Setiap saya hubungi admin, jawabannya hanya ‘sabar’. Akhirnya saya memutuskan berhenti tanggal 3 Mei 2025,” jelasnya.
Begitu juga dengan N. Ia menuntut pembayaran gaji yang belum diterimanya sejak Desember 2024 hingga April 2025, dengan total mencapai Rp 13.350.000. “Gaji terakhir yang saya terima sebesar Rp 2.700.000 pada 1 November 2024 untuk bulan November. Setelah itu, tidak ada pembayaran sama sekali,” ungkap N.
Menyikapi kasus tersebut, Lembaga Perlindungan Perempuan dan Anak Sumut (LPPA-SU), yang menilai kasus ini sebagai contoh nyata lemahnya pengawasan terhadap lembaga penyalur kerja swasta.
“Kami mendukung langkah hukum dari kuasa hukum dan para korban. Penahanan dokumen identitas serta keterlambatan gaji seperti ini bisa termasuk pelanggaran hak asasi manusia,” ujar Ketua LPPA-SU, Dewi Harahap.(*)